SOSOK PEMBANGKIT SEMANGAT
IMAM AL-KISA’I
TAK ADA ROTAN AKARPUN JADI
Ada
seorang santri dari Jawa Barat, dia termasuk penggemar berat nadzam
“Alfiyyah”. Hari-harinya di pesantren dihabiskan untuk memperdalam
Alfiyyah, kemana-mana selalu menenteng “Ibnu Aqil” salah satu komentar
Alfiyyah yang biasa dikaji di Pondok Pesantren Al-Falah setiap malam
Kamis. Untuk mempelajari Fiqih kurang begitu diminati, teman santri yang
satu ini nampaknya terobsesi oleh “kehidupan Syaikhuna Kholil
Bangkalan” mahaguru bagi para ulama se-Jawa yang seluruh hidupnya untuk
mempelajari dan mengajar Alfiyyah. Setiap permasalahan yang diajukan
kepada Syaikhuna selalu dijawab dijawab dengan bait-bait Alfiyyah , baik
persoalan Aqidah, Fiqih, Tasawwuf dan berbagai problematika
yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, bahkan permintaan barokah do’a
dari para tamu yang datangpun cukup diambil dari bait-bait Alfiyyah.
Pernah
terjadi ketika Kyai Kholil bersama Kyai lain dalam satu majlis
undangan, beberapa undangan melecehkan kebiasaan Kyai Kholil yang selalu
makan dengan tangan telanjang, tidak mau memakai sendok, menghadapi
lecehan orang tersebut “Syaikhuna” hanya tersenyum. Setelah itu sambil
bercanda dijawab dengan bait ke-63 dari kitab Alfiyyah. Bunyi bait
tersebut adalah :
وَفِي احْتِيَارٍ لاَ يَجِيْءُ المُنْفَصِلْ * إِذَا تَأَتَّى أَنْ يَجِيْءَ المُتَّصِلْ
“Dalam
keadaan tidak kepepet, tidak boleh mendatangkan Dhomir terpisah, selagi
masih mudah diperbolehkan mendatangkan Dhomir bersambung”.
Jawaban dari Kyai Kholil ini maksudnya adalah dalam
keadaan tidak kepepet/darurat, tidak boleh mendatangkan atau memakai
sendok/garpu (karena antara nasi dan tangan terpisah), selagi masih bisa
menggunakan tangan (karena bersambung antara tangan dan nasi), tetapi
apabila tidak memungkinkan memakai tangan (Dhomir Muttasil) karena kotor
misalnya, tidak ada pilihan lain kecuali meminta bantuan dengan
menggunakan sendok garpu (Dhomir Munfasil), jadi cara makan yang benar menurut kitab Alfiyyah adalah memakai tangan bukan sendok garpu.
Menjelang Bahsul Masa’il Pondok Pesantren, teman-teman kelasnya sibuk mencari Ta’bir tentang
bagaimana melakukan dua jum’atan dala satu kampung, ketika ditanyakan
kepadanya (teman santri dari Jawa Barat tadi) apakah ada bait-bait
Alfiyyah yang menjelaskan hukum pelaksanaan dua jum’atan dalam satu
kampung? Dengan enteng teman santri ini menyebutkan bait-bait Alfiyyah :
وَفِي احْتِيَارٍ لاَ يَجِيْءُ المُنْفَصِلْ * إِذَا تَأَتَّى أَنْ يَجِيْءَ المُتَّصِلْ
“kalau
dalam keadaan ikhtiyar ya tidak boleh munfasil (melaksanakan dua
jum’atan), kalau dalam keadaan sulit (tidak mudah) mengumpulkan,, yaa
boleh !!! benar sekali jawabannya sama persis dengan teks-teks Fiqih. kalau sulit dikumpulkan ( الإِجتماع عسر (, yaa boleh” kalau masih mudah dikumpulkan yaa tidak boleh, dan ditanyakan lagi kepadanya, jika terlanjur terjadi mana yang dihukumi sah? Ia menjawab pula dengan bait Alfiyyah :
وَقَدِّمِ الأَخَصَّ فِي اتِّصَالِ * وَقَدِّ مَنْ مَا شِئْتَ فِي انْفِصَالِ
Maksudnya yang lebih dulu dilaksanakan (وَقَدِّمِ الأَخَصَّ) itulah yang dihukumi sah.
Dalam acara Jam’iyyah di Pondok Pesantren, seorang penceramah menyebutkan kutipan “maqolah” yang berbunyi :
مَنْ تَبَحَّرَ عِلْمًا وَاحِدًا تَبَحَّرَ جَمِيْعَ العُلُوْمِ "يَعْنِي عِلْمَ الأَلَةِ"
“Barang siapa menguasai satu cabang ilmu, niscaya ia juga bisa menguasai seluruh cabang ilmu yang lain “ (yakni ilmu alat).
Dengan
sangat logis “penceramah” itu mengupas isi maqolah tersebut, bahwa
dengan menguasai ilmu Nahwu Shorof, seorang santri akan bisa membaca
kitab apa saja, dengan demikian ia akan menguasai berbagai cabang ilmu. Gus Maksum atau sebutan untuk Almaghfurlah KH. Maksum Jauhari, Pengasuh PonPes Lirboyo Kediri, pernah menceritakan, bahwa Kyai Mat Jipang (nama aslinya Muhammad, karena ngajinya gampang, kemudian mendapat julukan Mad Jipang,, red) yang hanya dengan bekal Tashrif dan Al-Ajurumiyyah, bisa membaca kitab kuning Fathul Wahab kosongan. Beliau berkata, kalau anda sudah faham Al-Ajurumiyyah, sudah pernah hafal Tashrif tapi belum bisa membaca kitab kuning kosongan, tentu ada yang salah dalam sistem belajar anda.
Dalam
kitab I’anatut-Tholibin dalam pembahasan sujud sahwi, ada satu maqolah
yang berasal dari Imam Kisa’i. Maqolah ini ditanamkan kepada
murid-muridnya “bahwa dengan menguasai Nahwu Shorof saja, sebenarnya
sudah cukup”. Meskipun tidak mempelajari disiplin ilmu yang lain.
Maqolah itu berbunyi :
مَنْ تَبَحَّرَ فشي عِلْمٍ إِهْتَدَي بِهِ إِلَى سَائِرِ العُلُوْمِ
“Barang siapa yang menguasai satu disiplin ilmu, maka ia akan mendapat petunjuk untuk mencapai ilmu-ilmu yang lain”.
Abu
Yusuf, Santri Abu Hanifah, mewakili kelompok Fuqoha sangat jengkel dan
penasaran pada “jargon-jargon” yang sering dilontarkan oleh Imam Kisa’i
ini. Dalam sebuah pertemuan suatu ketika Abu Yusuf berjumpa dengan Imam
Kisa’i. kesempatan ini digunakan oleh Abu Yusuf untuk menanyakan masalah
fiqih yang cukup sulit dengan tujuan untuk menguji kebenaran
maqolahnya.
Berkata Abu Yusuf : “Selamat
datang wahai Imam Kisa’i, Imam orang-orang Kufah. Aku sering mendengar
maqolahmu, yang menurutmu dengan menguasai satu disiplin ilmu, berarti
juga bisa menguasai seluruh cabang ilmu lain. Aku ingin tahu apakah
engkau juga menguasai fiqih?”.
“silahkan bertanya apa saja tentang Fiqih, bukankah engkau terkenal sebagai Imamnya para Fuqoha? Jawab Imam Kisa’i dengan enteng. “Begini pertanyaanku”, sambut Abu Yusuf. “jika ada orang yang lupa melakukan sujud sahwi sampai tiga kali, apakah masih disunahkan sujud sahwi lagi?” dengan suara mantap Al-Kisa’i menjawab: “menurutku tidak ! karena menurut kaidah Nahwu : الْمُصَغَّرُ لاَ يُصَغّر sesuatu yang sudah ditashghir tidak boleh ditashghir lagi. Seperti lafaz دِرْهَمٌ ketika ditashghir menjadi دُرَيْهِمٌ dengan menambah ya’, kemudian ditashghir menjadi دُرَيْهِمٌ, maka tidak boleh ditashghir lagi dengan menambah ya’ yang lain.
Imam
Abu Yusuf, dibuat kagum oleh jawaban Imam Kisa’I ini, sungguh tepat
jawabannya dan tidak menyimpang dari pendapat para Fuqoha’. Nampaknya
benar kata peribahasa : “tak ada rotan akarpun jadi” – “tak ada Fiqih, Nahwupun jadi”.